Mengobati orang butuh ilmu, Jika tidak maka ia harus bertanggung jawab, mengganti kerusakan bahkan harus menjalani qhishah
Mengobati orang butuh ilmu, keterampilan dan pengalaman karena bisa saja jika salah dalam melakukan pengobatan malah akan membahayakan bagi orang yang diobati. Oleh karena itu tuntunan Islam mengharuskan seseorang harus belajar dahulu, menjalani proses belajar yang tidak sebentar serta telah berpengalaman dalam menghadapi berbagai kasus sehingga ia sudah cukup familiar dengan penyakit tersebut dan tahu cara mengobatinya. Jika tidak maka ia harus bertanggung jawab, mengganti kerusakan bahkan harus menjalani qhishah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَطَبَّبَ وَلَمْ يُعْلَمْ مِنْهُ طِبٌّ قَبْلَ ذَلِكَ فَهُوَ ضَامِنٌ
“Barang siapa yang melakukan pengobatan dan dia tidak mengetahui ilmunya sebelum itu maka dia yang bertanggung jawab.” (HR. An-Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah dan yang  lain, hadits hasan no. 54  kitab Bahjah Qulub Al-Abrar)

Ulama sekaligus dokter terkenal di zamannya, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullahu berkata,
فإيجابُ الضمان على الطبيب الجاهل، فإذا تعاطى عِلمَ الطِّب وعمله، ولم يتقدم له به معرفة

“Maka wajib mengganti rugi (bertanggung jawab) bagi dokter yang bodoh jika melakukan praktek kedokteran dan tidak mengetahui/mempelajari ilmu kedokteran sebelumnya” (Thibbun Nabawi hal. 88, Al-Maktab Ats-Tsaqafi, Koiro)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata,
أنه لا يحل لأحد أن يتعاطى صناعة من الصناعات وهو لا يحسنها ، سواء كان طبا أو غيره ، وأن من تجرأ على ذلك ، فهو آثم . وما ترتب على عمله من تلف نفس أو عضو أو نحوهما ، فهو ضامن له

“Tidak boleh bagi seseorang melakukan suatu praktek pekerjaan dimana ia tidak mumpuni dalam hal tersebut. Demikian juga dengan praktek kedokteran dan lainnya. Barangsiapa lancang melanggar maka ia berdosa. Dan apa yang ditimbulkan dari perbuatannya berupa hilangnya nyawa dan kerusakan anggota tubuh atau sejenisnya, maka ia harus bertanggung jawab.” (Bahjah Qulubil Abrar hal. 155, Dar Kutub Al-‘Ilmiyah, Beirut, cet-ke-1, 1423 H)

Al-khathabi rahimahullahu berkata
لا أعلم خلافاً فى أن المعالِج إذا تعدَّى، فتَلِفَ المريضُ كان ضامناً، والمتعاطى علماً أو عملاً لا يعرفه متعد، فإذا تولَّد من فعله التلف ضمن الدية، وسقط عنه القَودُ، لأنه لا يستبِدُّ بذلك بدون إذن المريض وجنايةُ المُتطبب فى قول عامة الفقهاء على عاقِلَتِه

“Saya tidak mengetahui adanya perselisihan dalam pengobatan apabila seseorang melakukan kesalahan, sehingga menimbulkan mudharat pada pasien, maka ia harus menanggung ganti rugi. Orang yang melakukan praktek (kedokteran) yang tidak mengetahui ilmu dan terapannya, maka ia adalah orang yang melampui batas. Apabila terjadi kerusakan akibat perbuatannya, maka ia harus bertanggung jawab dengan mennganti diyat.” (” (Thibbun Nabawi hal. 88, Al-Maktab Ats-Tsaqafi, Koiro)


Demikian semoga bermanfaat.
@Perum PTSC, Cileungsi-Bogor


silahkan like fage Majalah Kesehehatan Muslim dan follow twitter